Bekalnya ijazah SMA. Mengawali perjuangannya dengan menjadi office boy dan jualan roti pisang keliling. Namun hanya berselang delapan tahun Agus Pramono mampu menjadi juragan ayam bakar yang omsetnya ratusan juta perbulan.
Urip kaya cakra manggilingan, itu ungkpan para dihalang ketika mengupas filosofi hidup manusia. Artinya hidup ini ibrat roda yang berputar terkadang diatas terkadang dibawah. Filosofi hidup itulah yang dimaknai secara mendalam oleh Agus Pramono, Bos Ayam bakar Kalasan (Mas Mono) yang kini mempunyai tujuh outlet dan tersebar di berbagai wilayah di jakarta dan melayani jasa catering untuk Anteve, Trans TV dan TV7.
Sempat di tempa kerasnya hidup di ibukota selama lebih dari satu dasawarsa, akhirnya Mas Mono, demikian akrab disapa oleh para pelanggannya, bisa menjadi juragan ayam bakar. Dalam sehari tak kurang dari 600 ekor ayam ia sajikan untuk para pelanggannya, yang terentang dari golongan bawah sampai atas.
Mono hijrah dari madiun ke jakarta pada tahun 1994, setamat dari sekolah menengah atas di kota brem tersebut. Di jakarta Ia bekerja sebagai karyawan restorant cepat saji California Fried Chicken sebagai coocker. Tiga tahun kemudian atau 1997 ia keluar dari CFC, untuk memegang operasional rumah makan yang melayani jasa catering even-even khusus. kebetulan pada tahun itu, properti mengalami booming sehingga banyak sekali peluncuran perumahan-perumahan yang membutuhkan jasa catering. Namun perjalanan hidup, tak ubahnya air yang pasang surut. akhir tahun 1997 atau awal 1998, krisis ekonomi mendera kawasan ASIA, termasuk Indonesia.
Penyelenggaraan event-event yang semula booming, mulai lesu. Order yang mula antre, berubah total, nyaris tak ada satupun order yang masuk. Mono masuk barisan dari jutaan penduduk Indonesia yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Untuk menyambung hidupnya, Mono menulis puisi dan membuat vinyet untuk dikirimkan kesejumlah Media masa. Supaya bisa dimuat, puisi maupun vinyet itu saya antar sendiri ke redaksi,” kata mono mengenang masa-masa susah dalam hidupnya.
Mono berusaha untuk melamar ke sejumlah perusahaan. Namun tidak ada satupun lamarannya yang membuahkan hasil. baru pada tahun 1998, dengan rekomendasi dari seorang temannya, mono diterima sebagai office boy di sebuah perusahaan konsultan. pekerjaan mono sehari-hari adalah menyapu, mengepel dan memfotocopi dokumen, namun, disela-sela mengerjakan tugas pokoknya tersebut, mono belajar untuk mengoperasikan komputer. setelah berhasil mengoperasikan komputer ia mencari hasil tambahan dengan melayani jasa pengetikan skripsi.
Meski sudah berusaha keras untuk mendapatkan hasil tambahan, tetapi tuntutan ekonomi berkembang jauh lebih pesat, sehingga mono merasa posisinya sebagi karyawan tidak bisa dipertahankan lagi. Ia berfikir untuk keluar dan memulai usaha sendiri.
Modal cekak membuatnya berfikir keras, usaha apa yang cepat mendatangkan uang sehingga bisa menambal kebutuhan sehari-hari. Terlintas dibenaknya untuk membuat warung makan seperti yang berada di dekat kantornya. Namun dengan uang Rp. 500rb di tangan jelas tidak cukup dijadikan modal untuk mendirikan warung makan.
Awalnya, mas mono ini berjualan ayam bakar di pinggir Jalan Soepomo, Jakarta Selatan, tepatnya di seberang Universitas Sahid. Di tempat itu, setiap hari, kecuali hari libur dia menggelar tenda, bangku dan meja untuk berdagang.
Dengan memakai kaus, celana gombrang dan sandal jepit, dia setia melayani pembeli yang datang dari pagi sampai pukul 14.00. Sebagian pembelinya adalah mahasiswa dan orang kantoran yang bekerja di wilayah tersebut.
“Tapi ya namanya dagang kaki lima, ada gilirannya. Saya dagang dari pagi sampai siang. Dagangan habis nggak habis saya harus tutup. Lalu, jam 14.00 diganti pedagang lain yang menjual nasi goreng, pecel lele dan seafood,” tutur Pramono sambil memperlihatkan foto lamanya di laptop.
Pria yang menamatkan S3 (SD, SMP, SMA) di Madiun ini belakangan akrab dengan laptop karena dia menjadi salah seorang mentor nasional dari Entrepreneur University (EU). Foto-foto lamanya itu menjadi salah satu bahan presentasinya ketika membawakan materi tentang wirausaha.
Menurut Pramono, sejak dulu dia suka fotografi tapi hanya sebatas hobi. Bukan karena dia tahu akan sukses. Jika diamati, foto Pramono saat masih berjualan di pinggir jalan dan saat ditemui Warta Kota beberapa hari lalu, memang berbeda jauh. Dulu dia terlihat kurus, sekarang tampak macho dan keren.
“Ya, bedalah Mas. Dulu tidak terawat, sekarang terawat. Dulu nggak punya tabungan, sekarang tabungan banyak di bank,” ujarnya sambil menunjukkan tabungannya yang pernah mencapai persis Rp 1 miliar.
Salah satu kebiasaan positif yang dimiliki Pramono dan sangat memberi inspirasi adalah kesenangannya belajar sesuatu yang baru untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Tahun 1999, ketika menjadi office boy di sebuah perusahaan swasta, Pramono selalu memanfaatkan,waktu luangnya dengan belajar komputer. Bukan bermain bermain game seperti kebanyakan orang. Sebab dia tahu, dengan menguasai keterampilan itu kariernya bisa naik dan gajinya juga akan lebih besar.
Pramono benar, karena kariernya terus meningkat hingga akhirnya diangkat menjadi supervisor. Meski jabatannya cukup tinggi tapi dia terus tertantang untuk meningkatkan taraf hidupnya. Cita-citanya cuma satu, bagaimana caranya lebih membahagiakan orang-orang yang dicintai, keluarga dan orangtuanya.
Akhirnya, tahun 2001 dia keluar dari perusahaan tersebut dan memulai usaha dengan berjualan gorengan keliling di seputar,wilayah Pancoran, Jakarta Selatan. Langkahnya rada ekstrem. Sebab, bagi Pramono, untuk memulai usaha tidak perlu banyak berpikir, apalagi menghitung rugi laba. Yang terpenting adalah melakukan action.
“Banyak saudara saya yang tidak terima dengan keputusan itu. Apalagi pada awal-awal berdagang, omzetnya baru Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per hari,” ujarnya.
Meski menghadapi banyak tantangan, Pramono tidak mau mundur. Sampai akhirnya dia mendapat lapak kosong di seberang Universitas Sahid. Dengan modal Rp 500.000 untuk membeli gerobak dan peralatan lainnya, termasuk ayam lima ekor, Pramono membuka lembaran barunya dengan menjual ayam bakar. Namun karena belum mahir mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir. Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan dulu.
“Kalau orang lain mungkin sudah mikir macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah, ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.
0 Comments